Senin, 04 Januari 2010

Galau Hati Alika

Galau Hati Alika


TPG IMAGES

Jumat, 20 November 2009 | 10:44 WIB
Cerpen Nurlela Amin Awalimah
Gemuruh badai itu datang lagi. Sayup-sayup terdengar dan kian lama kian mendekat. Badai yang pernah kutaklukkan, kini kembali kuhadapi. Aku pernah menghadapi badai itu dengan tangis dan airmata, dengan kekuatan doa, dan dengan segala daya yang aku miliki meski nyaris remuk redam. Waktu membantuku menjinakannya hingga mati suri.
Badai itu, bernama perasaan yang tak bisa kumengerti kenapa ia mesti menyapaku kala aku tak lagi sendiri. Perasaan yang membuatku bertingkah aneh dan merasa bersalah pada lelaki yang sekian puluh tahun telah menemani setiap langkah kehidupanku. Perasaan yang tertuju pada orang yang salah yang juga rekan kerjaku. Herannya, perasaan itu tak mengurangi rasaku pada lelakiku, pada mutiara-mutiara kecilku. Duh bingungnya aku.
Sahabat,
Hampir dua tahun jiwa ragaku berperang melawan badai. Perang yang lebih hebat dibandingkan perang Bubat. Ketika akhirnya aku tak lagi punya kendali atas diriku sendiri, aku mengaku pada lelakiku. Ia marah dan kecewa. Aku terima kemarahan dan kecemburuannya. Lelaki mana yang bisa menerima istrinya menduakan cintanya meski cuma di dalam hati dan tak pernah ada tindakan nyata.
Mungkin orang bilang betapa bodohnya aku mau mengaku. Tapi sahabat, kukatakan padanya, aku mengaku justru karena aku sungguh mencintainya dan ingin keluar dari badai itu. Aku tak mau badai itu lebih menghancurkan jiwa dan ragaku karena aku tetap mencintai keluargaku. Dan tak kan kubiarkan apapun akan memisahkan aku dari mereka bahkan demi perasaan itu.
Akupun rela seandainya harus keluar dari pekerjaan yang telah mendarah daging dalam kehidupanku demi keluargaku. Meski pada akhirnya pilihan itu tak mungkin terlaksana karena keadaan. Aku juga tak mau rekan-rekan kerjaku akan mendapatkan jawab atas tanda tanya yang mungkin mulai timbul atas ketaklaziman sikap antara aku dan dia. Dan itu akan berarti kiamat kecil di kantorku.
Beberapa masa, setelah pengakuanku, badaipun mereda berkat doa dan dukungan kuat dari suamiku. Aku sangat berterima kasih padanya yang bisa mengerti dan memaafkan aku meski semenjak pengakuanku itu dia menjadi sangat pencemburu yang kadang bahkan membuatku ngilu. Kuterima semua itu demi keutuhan keluargaku.
Beruntung, sahabat. Kehadiran si bungsu tak lama setelah itu, memiliki peran besar menjauhkan aku dari badai itu. Aku memiliki kesempatan untuk mendinginkan hati dirumah dalam kesibukan mengurus keluarga dan jauh dari keriuhan kantor.
Setelah aku kembali ke kantor dari cuti panjang, segalanya telah berubah. Aku menjaga jarak dan mencoba meminimalkan keterlibatan dengannya. Mencoba konsisten dengan niatku melupakannya dan hanya fokus pada pekerjaan. Meski harus kuakui, perasaaan itu tak benar-benar lenyap. Pada akhirnya, diapun merasakan perubahan itu dan mulai melakukan hal yang sama, entah apa alasannya. Apapun, itu lebih baik buatku.
Yah, Sahabat, so far, well done I think!
***
Sayang sekali sahabat,
Masa damai itu tak lama kugenggam. Kesibukan di kantor memaksaku tak bisa menghindari kebersamaan dengannya. Pelan namun pasti aku kembali terseret dalam pusaran arus yang begitu kuat. Begitu mengerikan namun tak bisa kutolak. Tanganku menggapai-gapai mencari permukaan, arus itu semakin kuat menarikku ke kedalaman.
Coba kau pikir sahabat, aku bisa tersenyum-senyum sendiri setiap melaksanakan kegiatan yang melibatkan dirinya. Aku selalu bertanya dalam hati dan tetap tak pernah mengerti, mengapa bayangan dirinya begitu kuat mencengkeram hatiku. Seringkali kurenungkan kelebihan apa yang telah membuatku seperti ini. Wajahnya biasa saja. Pinter sih memang, tapi cuek dan suka merasa paling benar sendiri. Kadang sikapnya malah nyebelin banyak orang.
Orang yang berpendirian keras dan bahkan seperti tak butuh orang lain. Suami orang lagi. So what? Namun, semakin aku menolaknya, semakin kuat aku terjerat. Apakah aku akan kembali terperangkap dalam riuhnya gelombang yang membuat kapalku hampir kehilangan nahkoda? Semua yang kulakukan tak pernah bisa hilang dari bayangannya.
Kembali terkenang saat-saat aku kerap terlena oleh tatapan matanya. Meski saat bertemu mata aku akan buru-buru menundukkan pandanganku, tapi hati rasanya bagai tersiram dinginnya air telaga. Kala itu, aku masih bisa duduk berdekatan dengannya, ngobrol dan tertawa bersama meski tak jarang pula diselingi dengan debat ringan, tetap saja membuatku terbang ke awan dan melupakan keinginan sejenak untuk menjauhinya.
Meski demikian, tak sekalipun aku melakukannya hanya berdua dengannya, selalu ada orang lain yang menemani. Bagaimanapun, aku tak mau ada yang mengetahui apa yang ada dihatiku. Perhatian-perhatian kecilnya yang sangat jarang terlontar baik buatku maupun hampir gak pernah buat orang lain, menjadi sesuatu yang indah dan tak terlupakan.
Hmm, bagaimana ini sahabat, aku tak mau menangis sendiri seperti waktu itu. Menjerit dalam hati dan tersiksa dalam ketakberdayaan.
Aku mengadu dan menggugat Tuhanku, mengapa harus kualami seperti ini. Aku tahu apa yang seharusnya aku lakukan hanya aku tak mampu melaksanakan. Semakin kudekatkan diri pada Tuhan dan berharap dapat melupakannya, tetap saja tak cukup dapat menghapus ingatanku tentangnya.
Meski aku kerap tak setuju dengan banyak sikapnya, nyatanya perasaan itu makin kuat menggelayuti hati. Tak pernah kutahu perasaan dia sesungguhnya, namun perasaan itu tak mau peduli. Datang dan datang lagi semaunya menggangu kehidupan normalku.
***
Sahabat,
Sore itu, selepas acara kantor yang diadakan di sebuah hotel berbintang 4 di luar kota, aku tengah menghabiskan waktu dengan melihat-lihat baju batik yang dipajang di etalase toko hotel. Kebetulan teman sekamarku tengah menginap ditempat saudaranya yang ada di kota itu. Teman sekantorku yang lain sibuk dengan urusannya sendiri. Jadilah aku mencari kesibukan sendiri karena enggan bergabung dengan para macho man. Saat itulah dia menyapaku.
”Hai, Alik!” Hmm, cuma dia yang memanggilku dengan sebutan itu. Sebenarnya aku tidak suka dengan panggilan itu. Tapi jika itu keluar dari mulutnya, terdengar begitu merdu ditelingaku. Aduh, it must be crazy !. Aku menoleh dan tersenyum sekilas tanpa menyahut.
”Suka batik?” tanyanya.
”Lagi pengen aja,” jawabku sambil berusaha menenangkan gelegak di dadaku yang mulai memacu.
”Kalau mau beli tuh jangan di sini,” ujarnya berbisik, takut kedengaran si embak penjaga toko. ”Aku tahu tempatnya yang bagus dan murah. Kuanterin mau gak?”
Aku terdiam. Rasanya seperti mimpi dia bicara seperti itu. Biasanya bila cuma berdua, dia lebih terlihat kaku dan mati kutu.
’Mau nggak?’ sambungnya melihatku tak bereaksi. ’Nggak jauh kok paling 10 menit jalan kaki sudah sampai. Hitung-hitung sambil olahraga sorelah.’
Seharusnya kutolak ajakannya jika aku tak mau makin dekat menyongsong badai itu lagi. Namun rasa penasaran dan entah apa namanya dihatiku membuatku tak mampu menolak ajakannya yang langka.
Kami berjalan bersisian sambil terus berbicara tentang banyak hal. Sungguh ajaib dia bisa ngobrol selancar itu hanya berdua denganku. Persis seperti dua orang sahabat yang lama baru ketemu.
Sampai ditempat yang dia ceritakan, yang berupa sebuah rumah yang lumayan besar dan memiliki galeri tersendiri di depannya. Rumah itu ternyata merupakan tempat penampungan hasil produksi batik buatan sang pemilik sendiri yang diproduksi di tempat lain. Memang sangat menyenangkan berbelanja di situ, warna corak dan modelnya cukup beragam dan up to date. Murah lagi. Pengunjungnya juga tidak terlalu rame sehingga aku leluasa berbelanja. Aku membeli beberapa potong untuk diriku sendiri dan keluarga di rumah. Demikian juga dengannya.
Lelah berbelanja, kami mampir ke sebuah kafe tak jauh dari tempat itu. Kafe yang lumayan nyaman dan tak terlalu ramai. Aku tertarik dengan berbagai macam jus yang cukup lengkap disitu.
Kupesan jus tomat-wortel kesukaanku. Dia sendiri memesan jus jambu merah. Beberapa saat kami terdiam, sambil menikmati pesanan kami masing-masing.
”Ntar malem kamu mau kemana Alik?” tanyanya setelah beberapa waktu terdiam.
”Kayaknya sih nggak kemana-mana. Emang kenapa?”
”Jalan yuk. Muter-muter aja sih, lihat-lihat kota.”
Gubrak!!!
Skenario macam apa lagi ini. Atau ini memang benar mimpi?
”Alik, kok diem aja sih?”
”Enggak ah, takut ntar jadi gosip.” Aduh kenapa kata-kata itu yang keluar dari mulutku?
”Emang yang sekarang enggak bisa jadi gosip?” katanya sambil melirikku dan tersenyum nakal. Aku mendelik. Aduh ini orang bener-bener nekat apa gimana sih?
”Tak seharusnya aku di sini,” aku bergumam lirih.
”Tapi nyatanya kamu ada di sini.”
”What do you mean?” Suaraku tercekat.
“Jadi apa bedanya kita keluar berdua sekarang atau nanti?”
Aku marah, atau entah apa namanya.
”Aku pulang !” kataku sambil berdiri.
”Tunggu, Alik!” katanya sambil meraih tanganku meminta untuk duduk kembali. “Maafkan aku kalau telah menyinggung perasaanmu.”
Sumpah. Baru kali ini kami bersentuhan fisik. Dan itu bagai bom atom yang jauh lebih kuat dari bom Hiroshima-Nagasaki. Seketika kapal pertahananku yang memang sudah oleng, hancur berantakan. Dinding dihatiku luluh lantak. Aku terduduk. Tergugu. Tak dapat kugambarkan perasaanku saat itu.
”Kita pulang, yuk,” kataku kelu setelah beberapa waktu terdiam, menata hati.
”Kamu masih marah?”
Aku menggeleng. “Terima kasih.”
“For what?” dia kelihatan bingung.
“Untuk telah menghancurkan semuanya.”
“Maksudmu?” dia bertambah bingung.
“Kamu telah menghancurkan sesuatu dan kamu tak tahu apa itu?’
“Alika… ??? …aku serius.” Hmm, baru kali ini dia menyebut panggilan namaku dengan lengkap. Sepertinya dia benar-benar pada titik kebingunannya. Tapi aku tak peduli.
“Aku lebih dari serius. Aku mau pulang.” Kali ini aku langsung berdiri meninggalkannya. Aku tak mau menangis dihadapannya.
Buru-buru dia bayar minuman dan mengejar langkahku.
“ Sungguh, Alik. Aku ingin tahu apa yang telah kuhancurkan?“
“Dinding tebal.“ Jawabku lirih.
“Ap…apa…? Aku tak mengerti.”
“Kau memang tak akan pernah mengerti. Dinding itu kubangun dengan susah payah dan sekarang runtuh sia-sia.” Mataku terasa panas
Kami saling terdiam hingga berpisah di lobby hotel.
“Alik, maafan aku.” Pintanya dengan wajah penuh sungguh.
Aku tersenyum. “Makasih udah nganterin aku juga nraktir minum jus tadi.”
***
Sahabat, malam itu tak sekejap pun mataku terpejam. Esok aku akan kembali dalam pelukan keluargaku. Apakah hatiku masih tetap utuh untuk mereka? Apakah aku akan bisa bersikap sewajarnya setelah apa yang terjadi?
Aku pernah berada pada galau seperti ini dan aku tak mau kembali ke masa itu. Aku tak mau hancur dan menghancurkan.
Tiba-tiba dering sms di hp ku berbunyi. Kubuka dengan enggan. Oh Tuhan, dari dia.
Alik, maafkan aku. Dindingkupun telah runtuh.
Duhai sahabat, apa yang harus kuperbuat?
***
Mendung masih menggayut di luar sana, saat kualihkan pandangan dari mikroskop keluar menembus jendela kaca besar yang tertutup dengan rapat dan gedung-gedung tinggi di kejauhan tampak samar-samar. Mungkin sudah turun hujan di daerah sana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar